IMPLIKASI KONVENSI HAK ANAK DALAM KEGIATAN DI LEMBAGA SEKOLAH

Senin, 15 Oktober 2012

PAUD-Anakberminbelajar---anak dimanapun mereka berada, memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang dengan baik, tumbuh kembang anak dijamin dalam setiap aturan dan perundang-undangan yang ada hampir disemua negara. Demikian halnya di Indonesia, setelah konvensi hak anak yang dicanangkan maka hak-hak anak, hendaknya dapat dijamin dan lebih diperhatikan demi masa depan penerus bangsa ini. Dimulai disekolah-sekolah dengan melibatkan kegiatan-kegiatan yang mendukung terhadap hak-hak anak, maka secara langsung ataupun tidak langsung anak-anak yang bersekolah dilembaga pendidikan tertentu harus dijamin dan dilindungi hak-hak mereka.

a. Krisis Ekonomi Sebagai Kasus
Di Indonesia, sebelum krisis ekonomi terjadi, sekian juta anak, berumur antara 10-14 tahun, dinyatakan oleh statistik resmi sebagai pekerja anak. Setelah krisis berlangsung selama lebih dari dua tahun, jumlah anak yang bekerja ditengarai meningkat. Banyak anak yang semula hanya bersekolah dan tidak bekerja kini menggunakan sebagian waktunya untuk bekerja. Banyak pula anak yang semula bekerja sembari bersekolah kini putus sekolah dan menjadi pekerja penuh waktu. Begitu pula, anak yang bekerja lebih dari 25 jam/minggu jumlahnya menjadi lebih banyak.

Krisis ekonomi membuat semakin banyak anak yang bekerja. Krisis juga membuat banyak anak menjadi rawan putus sekolah. Dalam contoh kasus diatas, disoroti secara khusus dua dampak krisis ini. Kedua dampak tersebut, tidak perlu penjelasan lebih jauh, nyata saling berkaitan. Kalau anak bekerja maka kesempatannya untuk bersekolah, atau setidaknya kesempatannya untuk bisa mengikuti pelajaran di sekolah dengan baik, menjadi menurun. Sebaliknya, jika anak putus sekolah, maka masalah penggunaan waktu luang menjadi mengedepan; dan bagi anak pada khususnya yang berasal dari keluarga miskin, tekanan kebutuhan ekonomi keluarga akibat krisis akan mendorongnya ke posisi aktif secara ekonomi.

b. Pandangan terhadap Anak yang Tidak Bersekolah dan Anak yang Bekerja
Dewasa ini, kecuali pada beberapa masyarakat dan kebudayaan tertentu, jika dinyatakan: “Banyak anak yang putus sekolah atau beresiko putus sekolah”, maka pernyataan itu bagi kebanyakan orang dianggap mengusik, setidaknya secara moral. Dewasa ini, masyarakat umum cenderung beranggapan bahwa sekolah (lebih tepatnya: pendidikan) merupakan sesuatu yang perlu bagi anak-anak. Begitu pula halnya dengan para pemuka masyarakat, tokoh agama, para pakar, politisi dan media massa secara umum, mereka semua cenderung beranggapan bahwa sekolah bagi anak-anak merupakan sesuatu yang niscaya, tidak bisa tidak dan tidak perlu ada pertanyaan lagi mengenai hal itu. Terlepas dari apakah opini publik di kalangan masyarakat kebanyakan dipengaruhi dan dibentuk oleh pandangan dari kalangan pemuka, pakar, para politisi dan media massa; atau sebaliknya, opini publiklah yang mengarahkan sentimen para politisi, pemuka serta media-massa agar berpihak kepada opini umum; yang pasti pandangan umum mengenai perlunya pendidikan bagi anak-anak, baik pada masa krisis dan apalagi pada masa normal, telah menjadi suatu opini yang solid, tidak perlu dipertanyakan dan hampir tidak bisa digugat.

Agak berbeda halnya dengan anak yang bekerja. Di kalangan masyarakat termasuk para orangtua, masih sering muncul pertanyaan: “Apa salahnya jika anak bekerja? Bukankah anak yang bekerja, terutama yang membantu menambah penghasilan orangtuanya, adalah sesuatu yang baik?” Pada masa sebelum krisis-pun banyak diantara kalangan masyarakat, politisi, para pakar maupun sebagian aktifis LSM. yang berpandangan seperti itu. Dan setelah krisis ekonomi melanda, pandangan demikian seolah memperoleh pembenaran baru. Tentu saja ada pula yang berpendapat bahwa bekerja bukanlah suatu hal yang baik untuk anak, dan bahwa anak seharusnya tidak boleh dipekerjakan.
Untuk memahami silang pandangan menyangkut anak yang bekerja, mungkin kita perlu melihat bagaimana pandangan masyarakat berkembang dan berubah selang kurun waktu tertentu. Anak yang tidak bersekolah misalnya, walaupun pada masa sekarang dianggap sebagai suatu penyimpangan, namun pada dua atau tiga generasi yang lampau hal itu kiranya merupakan fenomena yang lumrah belaka. Pada masa itu, tak ada sedikitpun hal yang ganjil dengan anak yang tidak bersekolah. Jadi, dalam kurun dua atau tiga generasi terakhir, sebenarnya telah terjadi perubahan dalam persepsi masyarakat mengenai perlunya pendidikan bagi anak.

Hatta, dikemukakan oleh B. Rwezaura bahwa pandangan masyarakat terhadap anak sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya; dan bahwa oleh karena faktor-faktor ekonomi, politik, sosial dan budaya senantiasa berkembang sebagai suatu dinamik, maka pandangan masyarakat terhadap anak juga merupakan suatu dinamik, tidak mandek dan tidak absolut. Di Inggris misalnya, perkembangan ekonomi, sosial dan politik yang terjadi sesudah masa revolusi industri membuat pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak memperoleh momentum yang kemudian diikuti dengan ketentuan resmi Negara mengenai wajib belajar.

Menggunakan kasus perubahan pandangan masyarakat mengenai arti pendidikan bagi anak seperti disampaikan terdahulu sebagai pijakan analisis untuk memahami persepsi masyarakat terhadap anak yang bekerja, maka kita dapat menduga bahwa bukannya tidak mungkin jika kelak, satu atau dua generasi mendatang, keberadaan anak yang bekerja akan mengusik setiap orang, setidaknya secara moral: bahwa keberadaan anak yang bekerja adalah suatu aib yang tidak bisa ditolerir.

c. Penetapan Standar dan Perubahan Pandangan Masyarakat
Selain karena perubahan dan/atau perkembangan faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya, perubahan pandangan masyarakat juga bisa disebabkan oleh nilai atau aturan tertentu. Misalnya, pada jaman jahiliah, anak-anak perempuan dianggap sebagai aib dan boleh dibunuh. Namun setelah Nabi Muhammad SAW memperkenalkan nilai dan aturan baru, maka terjadi perubahan pada pandangan terhadap anak perempuan.
Tadi telah disinggung tentang kaitan antara perkembangan revolusi industri dengan berubahnya pandangan masyarakat mengenai arti pentingnya pendidikan bagi anak serta keputusan untuk mengintroduksikan sistim wajib belajar melalui aturan/legislasi di Inggris. Dengan pemberlakuan aturan mengenai wajib belajar, maka secara teknis setiap anak harus memperoleh pendidikan (biasanya pendidikan dasar) selama periode tertentu misalnya enam atau sembilan tahun.
Pengenalan suatu nilai baru dan pemberlakuan aturan yang sesuai merupakan suatu langkah yang akan membawa dampak tidak saja secara moral namun juga secara yuridis. Nilai yang baru membuat orang menjadi merasa bersalah apabila melakukan penyimpangan. Pemberlakuan aturan yang mengikat akan membawa sanksi bagi setiap pelanggaran. Melalui pemberlakuan aturan, maka wajib belajar (dalam contoh ini di Inggris) mempunyai kekuatan hukum. Ia beranjak dari sekedar himbauan moral atau pernyataan politik yang “tidak bergigi”, menjadi suatu standar yang bisa diadili (justiciable). Langkah pengenalan nilai dan aturan seperti itu biasa disebut sebagai “penetapan standar” (standard setting).

Dengan standar yang ditetapkan melalui aturan yang berkekuatan hukum, maka penegakan (enforcement) bisa dijalankan. Orangtua yang gagal mengirimkan anaknya ke sekolah, bisa dikenai sanksi tertentu. Penegakan yang konsekuen dan konsisten, pada gilirannya akan membuat masyarakat, terpaksa ataupun sukarela, mematuhi ketentuan yang ada. Demikianlah maka setelah satu generasi kemudian, semua anak praktis sudah akan memperoleh pendidikan dasar yang diwajibkan. Lalu pada generasi berikutnya, membiarkan anak tidak bersekolah akan dianggap bukan saja sebagai suatu pelanggaran hukum namun juga sebagai penyimpangan sosial dan moral. Jadi penegakan hukum pada gilirannya akan memperkuat nilai yang diberlakukan. Opini masyarakat akan menjadi semakin solid dan orang tidak lagi menganggap perlu ada pertanyaan mengenai keniscayaan pendidikan bagi anak.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penetapan standar melalui aturan yang berkekuatan hukum, jika diikuti dengan penegakan secara konsekuen, pada gilirannya akan membawa perubahan pada persepsi dan perilaku sosial. Dengan kata lain, penetapan standar bisa membawa perubahan terhadap perilaku dan pandangan masyarakat.

d.Konsep Hak Anak dan Perkembangannya
Pandangan masyarakat mengenai apa yang perlu bagi anak, membentuk konsep mengenai hak anak. Misalnya, jika dianggap bahwa anak memerlukan pendidikan, maka pandangan ini membentuk konsep mengenai hak anak atas pendidikan. Begitu pula jika dipandang bahwa anak perlu dilindungi dari penghisapan (eksploitasi) ekonomi, maka pandangan seperti ini akan membentuk konsep mengenai hak anak untuk dilindungi dari berbagai pekerjaan yang berdampak buruk bagi perkembangan, kesehatan dan moral anak, atau yang membahayakan keselamatannya.

Dimuka telah diuraikan bahwa pandangan masyarakat terhadap anak dipengaruhi oleh berbagai faktor dan bisa berubah dari waktu ke waktu. Demikianlah maka konsep mengenai hak anak juga mengalami perubahan dan perkembangan.

Syahdan, pada jaman dahulu anak tidak dianggap sebagai subyek, melainkan hanya sebagai obyek milik orangtua semata. Oleh karena itu masyarakat pada jaman itu mentolerir dan menganggap biasa jika orangtua menjual, menganiaya, ataupun membunuh anaknya. Anak tidak lebih statusnya daripada seorang budak. Dan konon yang paling menderita adalah anak yang dilahirkan diluar perkawinan yang sah.

Pada awal kelahiran Negara Kebangsaan moderen seperti yang kita kenal saat ini, dimana mulai diperkenalkan adanya sistim hukum nasional yang tunggal, sistim hukum nasional juga masih belum mengakui anak sebagai suatu subyek hukum yang mandiri. Bahkan di Perancis, yang notabene merupakan tempat kelahiran Negara Kebangsaan moderen, baru pada tahun 1945 atau sekitar satu-setengah abad setelah Perancis memperkenalkan Negara Kebangsaan, hukum perdatanya yang memberikan kewenangan penuh kepada ayah untuk memenjarakan anaknya (dibawah 21 tahun) mulai direvisi.

Kita ketahui pula, bahwa hingga saat inipun kewenangan publik untuk melakukan intervensi dan melindungi anak yang dianiaya (abuse) oleh orangtuanya di Indonesia masih belum tegas diatur dalam KUHP maupun didalam perundangan nasional lainnya. Dengan kata lain, belum ada penetapan standar yang berkekuatan hukum yang pasti untuk memberikan ganjaran pidana bagi orangtua yang menganiaya anak, atau untuk mencabut hak perwalian orangtua atas anak — setidaknya didalam enforcementnya.

e. Penetapan Standar Internasional dibidang Hak Anak
Penetapan standar bisa dilakukan di tingkat nasional dalam wilayah suatu negara. Namun bisa juga dilakukan ditingkat internasional melibatkan beberapa atau semua negara di dunia.

Dalam konteks ini, penetapan standar pertama di bidang hak anak dilakukan oleh Organisasi Buruh Internasional (ILO). Segera setelah pendiriannya pada tahun 1919, ILO membuat Konvensi yang menetapkan batas usia minimum bagi anak untuk dipekerjakan. Konvensi ILO tersebut, karena mandat organisasi yang memang terbatas di bidang perburuhan, cakupannya juga terbatas hanya pada hak anak atas “perlindungan dari eksploitasi ekonomi”.

Republik Indonesia memang belum diprokamasikan pada waktu itu. Namun sebagai jajahan Belanda, hukum Belanda diberlakukan di Indonesia pada masa itu. Dalam kaitan ini, cukup menarik untuk berspekulasi tentang kaitan antara Konvensi ILO tahun 1919 dengan Staatsblad (Lembaran Negara pada jaman pemerintahan kolonial Belanda) tahun 1925 yang menetapkan batas umur minimum tertentu sebelum anak boleh dipekerjakan yang diberlakukan di Indonesia, dan yang belum dicabut hingga saat ini.
Lima tahun setelah Konvensi ILO 1919 tersebut, yakni pada tahun 1924, organisasi internasional yang ada pada waktu itu, Liga Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Berbeda dengan Konvensi ILO, Deklarasi ini menetapkan standar-standar internasional mengenai apa yang dianggap sebagai hak anak dengan cakupan yang lebih luas dari sekedar “melindungi anak dari eksploitasi ekonomi”, namun juga masih cukup terbatas sesuai perkembangan pada masa itu.

Pada tahun 1948, beberapa waktu setelah Liga Bangsa Bangsa bubar, organisasi internasional yang baru, Perserikatan Bangsa Bangsa, mencanangkan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. (Patut kita catat bahwa pada tahun 1948 negara Republik Indonesia sudah lahir). Dalam Deklarasi tersebut dinyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk dilindungi. Selanjutnya pada tahun 1959, PBB seolah menegaskan apa yang telah dilakukan oleh Liga Bangsa Bangsa, kembali mencanangkan Deklarasi Hak Anak. Deklarasi ini merupakan deklarasi internasional kedua dan tentu saja cakupannya menjadi agak lebih luas jika dibandingkan dengan Deklarasi pertama oleh Liga Bangsa Bangsa yang dicanangkan tahun 1924.

Berbeda dengan Konvensi, Deklarasi merupakan suatu penetapan standar yang hanya mengikat secara moral namun tidak mengikat secara yuridis. Jadi, Deklarasi Internasional tentang Hak Anak, baik yang pertama (1924) maupun yang kedua (1959) tidak mengikat secara hukum.
Pada tahun 1989, Majelis Umum PBB menerima dengan suara bulat naskah akhir Konvensi Hak Anak, yang kemudian berlaku sebagai hukum internasional pada tahun berikutnya, 1990.

Banyak perkembangan menyangkut konsep mengenai hak anak yang terjadi sejak dicanangkannya Deklarasi Hak Anak II (1959) hingga disetujuinya naskah Konvensi Hak Anak oleh Majelis Umum PBB (1989). Beberapa perkembangan yang bisa disebutkan antara lain ialah diberlakukannya Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (1976). Didalam kedua instrumen internasional tersebut konsep mengenai hak anak mengalami perkembangan cukup pesat. Tambahan lagi, selama kurun tersebut masih ada banyak instrumen internasional lain menyangkut hak asasi manusia, yang langsung maupun tidak langsung membawa dampak pula bagi perkembangan konsep tentang hak anak. Singkatnya, Konsep tentang hak anak yang tercakup dalam Konvensi Hak Anak jauh lebih luas dibandingkan dengan yang tercakup dalam Deklarasi Hak Anak yang dicanangkan pada periode sebelumnya.

Isi Konvensi Hak Anak
Demikian luasnya cakupan hak anak yang terdapat dalam Konvensi Hak Anak, sehingga untuk bisa mengingatnya dengan lebih mudah, dibuat pengelompokan tertentu. Salah satu cara pengelompokan yang populer ialah dengan membagi hak anak menjadi empat kategori, yakni hak hidup dan kelangsungan hidup, hak atas perlindungan, hak untuk berkembang, dan hak untuk berpartisipasi.

Namun demikian, pengelompokan “resmi” yang dibuat oleh Komite Hak Anak (yakni badan yang dibentuk untuk mengevaluasi pelaksanaan Konvensi di setiap Negara) membagi Konvensi Hak Anak menjadi delapan kategori, sebagai berikut:
1. Langkah-langkah Implementasi Umum
2. Definisi Anak
3. Prinsip-prinsip Umum
4. Hak dan Kemerdekaan Sipil
5. Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti
6. Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar
7. Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya
8. Perlindungan Khusus.

Dari delapan kategori tersebut, kelompok yang secara substantif berisi kandungan konsep hak anak adalah kategori ke 4-8. Secara garis besar, kandungan hak anak dalam setiap kategori adalah sebagai berikut:
Hak dan Kemerdekaan Sipil: Terdiri atas Pasal-pasal 7, 8, 13, 14, 15, 16, 17 dan 37(a). Merupakan penegasan bahwa anak adalah subyek hukum yang mempunyai hak-hak dan kemerdekaan sipil sebagaimana layaknya orang dewasa. Sebagian terbesar dari ketentuan dalam kategori ini diturunkan dari “hak sipil dan politik” yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya, anak berhak untuk mempunyai nama dan kewarganegaraan, anak berhak atas kebebasan mengemukakan pendapat, dan berhak untuk bebas dari perlakuan semena-mena.

Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Pengganti: Terdiri atas Pasal-pasal 5, 18 ayat 1-2, 9, 10, 11, 19, 20, 21, 25, 27 ayat 4 dan 39. Mengatur hubungan anak dengan orangtua/ keluarganya, baik hubungan ekonomi-sosial-budaya maupun hubungan sipil dan hubungan hukum. Misalnya hak anak mendapatkan jaminan nafkah dari orangtua terutama jika orangtua tinggal di negara lain, untuk mengetahui dan diasuh oleh kedua orangtuanya sendiri, hak anak jika orangtuanya berpisah, hak anak jika ia diangkat/ diadopsi oleh keluarga lain, dan sebagainya. Perlu diketahui, bahwa berhubung anak, baik secara ekonomi-sosial-budaya maupun secara sipil dan yuridis sangat bergantung kepada orangtua atau orang dewasa lain yang memegang hak asuh atas anak, maka aturan menyangkut kategori ini sangat luas dan cukup kompleks.

Kesehatan dan Kesejahteraan Dasar: Terdiri atas Pasal-pasal 6, 18 ayat 3, 23, 24, 26 dan 27 ayat 1-3. Memberikan kepada anak-anak hak atas standar kesehatan dan kesejahteraan. Misalnya, hak atas untuk memperoleh jaminan kesehatan dan jaminan sosial. Hak-hak ini diturunkan dari “hak ekonomi-sosial-budaya” yang berlaku bagi orang dewasa.

Pendidikan, Waktu Luang dan Kegiatan Budaya: Terdiri atas Pasal-pasal 28, 29 dan 31. Sebagaimana kategori sebelumnya, hak-hak di sini pada umumnya juga diturunkan dari hak-hak ekonomi-sosial-budaya yang berlaku bagi orang dewasa. Misalnya hak atas pendidikan dasar secara gratis.

Perlindungan Khusus: Terdiri atas Pasal-pasal 22, 38, 39, 40, 37 (b)-(d), 32, 33, 34, 35 dan 36. Kategori ini dibagi lagi menjadi empat sub-kategori, yakni: (A) Perlindungan bagi anak dalam situasi konflik bersenjata dan yang menjadi atau mencari status pengungsi; (B) Perlindungan bagi anak yang melakukan pelanggaran hukum; (C) Perlindungan bagi anak dari eksploitasi ekonomi, penyalah-gunaan obat dan narkotika, eksploitasi seksual, penjualan dan perdagangan, atau dari bentuk-bentuk eksploitasi lainnya; dan (D) Perlindungan bagi anak-anak dari kelompok minoritas serta kelompok masyarakat adat (indigenous). Kategori ini bersifat khas hak anak dan sangat kompleks. Kategori ini meliputi baik hak-hak ekonomi-sosial-budaya maupun hak-hak sipil-politik.

Bagi pembaca yang mempunyai minat untuk mempelajari secara lebih mendalam mengenai rincian lebih lanjut dari kandungan substantif hak-hak anak tersebut, disarankan untuk membaca Konvensi Hak Anak.

Konvensi Hak Anak, karena sifat yang cakupannya, membawa pandangan baru yang radikal terhadap anak sebagai manusia dan sekaligus subyek hukum. Jika standar-standar dalam KHA ditegakkan secara konsisten dan konsekuen, hanya dalam satu generasi ia akan membawa dampak yang cukup berarti bagi pandangan dan praktek sosial masyarakat, tidak saja terhadap anak-anak namun juga terhadap sesama manusia lainnya.

Implementasi Konvensi Hak Anak
Di atas tadi telah didiskusikan secara ringkas bagaimana faktor-faktor ekonomi, sosial, politik dan budaya mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap anak; dan bagaimana hubungannya dengan perkembangan konsep hak anak. Juga bagaimana penetapan standar yang mengikat secara yuridis dan penegakannya membawa pengaruh pada persepsi dan praktek sosial (dalam hal ini menyangkut hak anak).

Berdasarkan sifatnya, hukum internasional termasuk hukum internasional dibidang HAM (KHA adalah bagian integral dari hukum internasional dibidang HAM), bersifat mengikat terhadap Negara; bukannya mengikat individu maupun badan-badan hukum swasta.
Penegakan hukum internasional dibidang HAM, agar bersifat mengikat terhadap individu dan badan-badan swasta, harus dilakukan dengan mentransformasikan hukum internasional bersangkutan kedalam ketentuan-ketentuan didalam hukum nasional suatu Negara. Inilah yang disebut sebagai implementasi atau aplikasi domestik dari hukum HAM internasional. (Perlu diingat bahwa hanya instrumen internasional yang bersifat mengikat secara yuridis-lah — seperti Konvensi Hak Anak — yang mempunyai kekuatan paksa agar diimplementasikan di tingkat nasional).

Dalam kaitan ini, karena Republik Indonesia sudah ikut menyetujui (meratifikasi) KHA, maka Indonesia terikat pada kewajiban yuridis untuk mengimplementasikan KHA didalam wilayah hukum nasional Indonesia.

Dalam wacana HAM, ada tiga kewajiban dasar yang dikenal sebagai kewajiban generik (generic obligations). Kewajiban-kewajiban lain pada umumnya merupakan turuna atau derivat dari ketiga kewajiban generik tersebut. Tiga kewajiban generik dimaksud ialah:
• Kewajiban untuk menghormati (respect)
• Kewajiban untuk melindungi (protect)
• Kewajiban untuk memenuhi (fulfill)
Kewajiban untuk menghormati mengharuskan Negara untuk tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang ada dalam Konvensi. Kewajiban ini relatif mudah dan murah, karena hanya mengehendaki abstensi: sudah cukup terlaksana sejauh Negara, perangkat dan aparatnya, tidak melakukan pelanggaran. Misalnya, polisi tidak melakukan penangkapan dan pehananan sewenang-wenang, atau penyiksaan, terhadap anak yang dicurigai telah melakukan pencurian. Kiranya tidak perlu penjelasan panjang lebar, tidak melakukan penangkapan dan penahanan sewenang-wenang dan tidak menyiksa anak yang dituduh mencuri, sama sekali merupakan perkara mudah dan tidak membutuhkan biaya sepeserpun.

Kewajiban untuk melindungi mengharuskan Negara untuk memberikan perlindungan agar anak tidak dilanggar haknya oleh orang atau individu lain (termasuk orangtua anak sendiri), dan memberikan sanksi (biasanya sanksi pidana) bagi setiap pelanggaran Perlindungan dimaksud biasanya diwujudkan dengan membuat aturan hukum di tingkat nasional, atau menyesuaikan aturan hukum nasional yang ada agar sesuai dengan standar serta ketentuan yang terdapat dalam Konvensi. Upaya untuk memberi perlindungan agar tidak terjadi pelanggaran oleh pelaku-pelaku non-Negara seperti ini dikenal juga sebagai “efek horizontal dari hukum HAM internasional” (horizontal effect of international human rights law). Misalnya, Negara membuat aturan baru atau menyesuaikan aturan yang ada guna melarang dilakukannya tindakan main hakim sendiri oleh siapapun (termasuk oleh satpam) terhadap seorang anak yang dituduh atau diketahui mencuri; dan memberikan sanksi terhadap satpam yang telah melakukan tindakan main hakim sendiri tersebut.

Kewajiban untuk memenuhi mengharuskan Negara untuk memberikan apa-apa yang diakui sebagai hak dalam ketentuan Konvensi yang ada. Misalnya, jika ditentukan bahwa setiap anak yang dituduh telah melanggar hukum pidana (mencuri) berhak untuk didampingi oleh seorang pengacara, maka Negara harus menyediakan pengacara dimaksud. Kewajiban ini dikenal sebagai kewajiban yang paling sulit untuk dilakukan, antara lain karena implementasinya membutuhkan biaya yang cukup besar. Dalam contoh kasus tadi, dimana Negara harus menyediakan pengacara bagi setiap anak yang dituduh mencuri, jelas membutuhkan biaya (untuk gaji, administrasi kepegawaian, dsb.) yang tidak kecil.

Demikian tentang implikasi konvensi hak anak dalam kegiatan di lembaga sekolah, khususnya dilembaga-lembaga PAUD kita, semoga dapat menjadi bahan perenungan dan masukan untuk menentukan kegiatan yang dapat mendukung hak-hak anak kita di sekolah. terimakasih. semoga bermanfaat.



14.36.00

0 komentar: